Siapa yang tak mengenal sosok
H.Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disebut HAMKA. Seorang sastrawan
sekaligus ulama yang sangat toleran dalam kehidupan, tetapi di sisi lain beliau
sangat kuat dan tegas ketika berbicara menyangkut soal akidah. Salah satu
contohnya adalah ketika beliau menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pertama.
Dipostingan saya hari ini, saya
ingin menceritakan kembali salah satu nasehat Buya Hamka yang disampaikan
kepada salah satu anak beliau, Irfan Hamka.
Mengingat dewasa ini banyak
sebagian orang sering berfikir negatif terhadap orang lain yang kemungkinan
sebagian besar disebabkan oleh orang-orang yang juga sering melakukan kejahatan
terhadap orang lain, belum lagi penyakit rasa iri dengki yang dimiliki orang
tersebut. Semoga apa yang saya sampaikan ini dapat dipahami dan bermanfaat
untuk pembaca di kemudian hari.
Berikut
kisahnya:
Yang
kedua, tentang Nasihat bagi Tetangga. Ini juga perkara yang sampai saat ini
masih aktual dan kerap terjadi di masyarakat kita. Nasihat Ayah(Buya Hamka)
yang aku dengar beberapa puluh tahun yang lalu seolah masih saja terngiang
sampai hari ini.
Seperti
biasa, selesai shalat shubuh, Ayah memberikan ceramah- dikenal denhan nama
Kuliah Shunuh – di Masjid Agung. Saat itu, aku (Irfan Hakim) belum berkeluarga.
Masih tinggal di rumah bersama-sama Ummi dan adik-adik.
Ceramah
dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seorang jemaah bertanya dan meminta
pandangan dari Ayah.
“Buya,
saya punya tetangga dua orang. Yang satu seorang haji, taatnya bukan main. Setiap
waktu shalat, pak haji selalu ke masjid dekat rumah kami. Puasa tidak pernah
lalai. Begitu pula bayar fitrah. Tapi sayang, Pak Haji ini tidak pernah akur
dengan tetangga. Ternak tetangga yang masuki ke pekarangannya selalu dilempar
dengan batu. Tetangga kami yang satu lagi seorang dokter. Bukan main baiknya. Bila
ada yang skit, tengah malam pun dokter ini tidak menampik bila ada pasien
datang ke rumahnya. Hanya sayang Buya, dokter ini tidak pernah ke masjid dan
shalat. Bagaimana ini, Buya?” tanya si jemaah.
Ayah
lalu menjawab, “Kita sepakati dulu bahwa shalat merupakan tiang agama. Sedangkan
kebaikan yang lain sebagai pengikutnya. Kalimat ‘pak haji taat shalat’, kata ’tapi’
nya kita hilangkan dulu. Kalimatnya menjadi ‘Pak Haji taat beribadah (koma
bukan titik) sambungannya kebaikan yang lain belum diikuti Pak Haji. Lalu untuk
ikutnya kebaikan yang lain, ini peranan da’wah
bilhal, yaitu dakwah dengan cara memberi contoh teladan, perbuatan, atau
sikap. Memberi contoh yang baik ke Pak Haji. Prosesnya bisa lama bisa pula
sebentar. Mengubah perangai seorang mudah-mudah sulit. Sulit. Namun kebiasaan
rajinnya Pak Haji beribadah jangan diejek.
Ayah
menerangkan dengan penekanan kata kata yang sangat rinci dengan suara seraknya
yang sangat khas.
“Begitu
pula halnya si dokter. Kebalikan dari perilaku Pak Haji, si dokter jangan
diejek karena dia tidak tidak shalat. Kata-kata “tidak shalat”, juga diganti
dengan kata-kata “belum shalat”. Hal ini
pun harus disesuaikan dengan da’wah
bilhal, dengan cara yang lembut. yang penting si dokter tetap beragama
islam. Hanya belum shalat. Saudara pun berkewajiban melakukan da’wah bilhal kepada
kedua tetangga itu”
Jemaah
yang bertanya mengangguk mengerti. Jemaah yang lain pun mengangguk-angguk
mendapat tambahan ilmu. Satu sifat Ayah yang sangat aku kagumi, Ayah tidak
pernah pernah berfikiran negatif kepada orang lain. Siapapun mereka, Ayah
selalu berprasangka baik dan memiliki keyakinan bahwa orang pasti dapat berubah
menjadi baik.
Sumber
bacaan:
Hakim
Irfan, 2013, Ayah...; Jakarta; Republika Penerbit [halaman 6-7]
No comments:
Post a Comment