Wednesday, 9 March 2016

Berfikir positif setelah membaca nasehat Buya Hamka!


Siapa yang tak mengenal sosok H.Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disebut HAMKA. Seorang sastrawan sekaligus ulama yang sangat toleran dalam kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara menyangkut soal akidah. Salah satu contohnya adalah ketika beliau menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama.

Dipostingan saya hari ini, saya ingin menceritakan kembali salah satu nasehat Buya Hamka yang disampaikan kepada salah satu anak beliau, Irfan Hamka.

Mengingat dewasa ini banyak sebagian orang sering berfikir negatif terhadap orang lain yang kemungkinan sebagian besar disebabkan oleh orang-orang yang juga sering melakukan kejahatan terhadap orang lain, belum lagi penyakit rasa iri dengki yang dimiliki orang tersebut. Semoga apa yang saya sampaikan ini dapat dipahami dan bermanfaat untuk pembaca di kemudian hari.

Berikut kisahnya:

Yang kedua, tentang Nasihat bagi Tetangga. Ini juga perkara yang sampai saat ini masih aktual dan kerap terjadi di masyarakat kita. Nasihat Ayah(Buya Hamka) yang aku dengar beberapa puluh tahun yang lalu seolah masih saja terngiang sampai hari ini.

Seperti biasa, selesai shalat shubuh, Ayah memberikan ceramah- dikenal denhan nama Kuliah Shunuh – di Masjid Agung. Saat itu, aku (Irfan Hakim) belum berkeluarga. Masih tinggal di rumah bersama-sama Ummi dan adik-adik.

Ceramah dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seorang jemaah bertanya dan meminta pandangan dari Ayah.

“Buya, saya punya tetangga dua orang. Yang satu seorang haji, taatnya bukan main. Setiap waktu shalat, pak haji selalu ke masjid dekat rumah kami. Puasa tidak pernah lalai. Begitu pula bayar fitrah. Tapi sayang, Pak Haji ini tidak pernah akur dengan tetangga. Ternak tetangga yang masuki ke pekarangannya selalu dilempar dengan batu. Tetangga kami yang satu lagi seorang dokter. Bukan main baiknya. Bila ada yang skit, tengah malam pun dokter ini tidak menampik bila ada pasien datang ke rumahnya. Hanya sayang Buya, dokter ini tidak pernah ke masjid dan shalat. Bagaimana ini, Buya?” tanya si jemaah.

Ayah lalu menjawab, “Kita sepakati dulu bahwa shalat merupakan tiang agama. Sedangkan kebaikan yang lain sebagai pengikutnya. Kalimat ‘pak haji taat shalat’, kata ’tapi’ nya kita hilangkan dulu. Kalimatnya menjadi ‘Pak Haji taat beribadah (koma bukan titik) sambungannya kebaikan yang lain belum diikuti Pak Haji. Lalu untuk ikutnya kebaikan yang lain, ini peranan da’wah bilhal, yaitu dakwah dengan cara memberi contoh teladan, perbuatan, atau sikap. Memberi contoh yang baik ke Pak Haji. Prosesnya bisa lama bisa pula sebentar. Mengubah perangai seorang mudah-mudah sulit. Sulit. Namun kebiasaan rajinnya Pak Haji beribadah jangan diejek.

Ayah menerangkan dengan penekanan kata kata yang sangat rinci dengan suara seraknya yang sangat khas.

“Begitu pula halnya si dokter. Kebalikan dari perilaku Pak Haji, si dokter jangan diejek karena dia tidak tidak shalat. Kata-kata “tidak shalat”, juga diganti dengan  kata-kata “belum shalat”. Hal ini pun harus disesuaikan dengan da’wah bilhal, dengan cara yang lembut. yang penting si dokter tetap beragama islam. Hanya belum shalat. Saudara pun berkewajiban melakukan da’wah bilhal kepada kedua tetangga itu”

Jemaah yang bertanya mengangguk mengerti. Jemaah yang lain pun mengangguk-angguk mendapat tambahan ilmu. Satu sifat Ayah yang sangat aku kagumi, Ayah tidak pernah pernah berfikiran negatif kepada orang lain. Siapapun mereka, Ayah selalu berprasangka baik dan memiliki keyakinan bahwa orang pasti dapat berubah menjadi baik.

Sumber bacaan:

Hakim Irfan, 2013, Ayah...; Jakarta; Republika Penerbit [halaman 6-7]

No comments:

Post a Comment