Kupandangi
berbagai foto selfieku tadi siang saat jam kosong di sekolah bersama kedua
sahabatku, Dita dan Ina. Ternyata lucu juga selfie kami.Ada yang merem,melotot
bareng, duck face sampai gaya ala Pak Jokowi “Salam 2 jari.”
“Kenapa
ngeliatin hp senyam-senyum gitu? Kamu liat vidio porno ya?” selidik kakakku,
Odhi. Astaga ini kakak curiga mulu sama adeknya. Sekarang kami sedang berada di
ruang keluarga sambil menonton sinetron. Seketika kedua orang tuaku langsung
mendelik kearahku meminta penjelasan. Dasar kak Odhi nyebelin.
“Sumpah!
Aku nggak nonton vidio porno Ma..Pa.. kalian percaya deh sama aku. Kak Odhi nih
sembarangan ngomongnya. Tau nggak kak sakitnya tuh disini.” jawabku cemberut
sambil menunjuk dada. Kedua orang tuaku terkekeh melihatku merajuk, sebenarnya
aku kesal diketawain orang tapi nggak apa-apa sih daripada dicurigain liat
video porno kan? Aku langsung bergegas meninggalkan ruang keluarga dan menuju
kamarku tercinta. Nggak kuat deh aku diketawain juga sama si biang kerok, Kak
Odhi.
“Dek,
jangan marah ya sama kakak. Beneran deh tadi kakak cuma asal nebak aja. Tapi
kamu nggak bohong kan?”
“Nih,
coba deh kakak liat bagus nggak?” tanyaku seraya menyodorkan Hp.
“Eh
foto apaan nih? Hapus nggak!” serunya tegas.
“Loh
kok kakak marah sih? Emang ada yang salah apa sama foto ini?”
“Jelas
salah Vira! Kamu tahu nggak-“
“Nggak
tahu aku, kan kakak belum jelasin,” potongku cepat.
“Astaga
Kakak belum ngomong, kamu main potong aja,” ujarnya ketus.
“Hehehehe
Peace Kak.” Kuangkat jari tengah dan telunjuk secara bersamaan membentuk huruf
V.
“Kata
Nenek, ga boleh foto sama orang yang jumlahnya ganjil. Nggak elok bisa jadi
bencana,” jelas kak Odhi dengan ekpresi tak terbaca.
“Maksudnya
Kak?” tanyaku bingung.
“Ini
foto ada 3 orang. Jelas – jelas 3 itu angka ganjil kan? Kau tahu, orang yang
biasanya ditengah dalam posisi foto adalah orang yang sedang terancam bahaya,”
kata Kak Odhi menggebu-gebu.
“Kakak!
Kita ini hidup di zaman modern kenapa masih percaya mitos begituan sih?” jawabku menggerutu.
“Terserah,
buktikan sendiri saja kalau gak percaya,” ucapnya cuek.
Ngeri
juga setelah difikir-fikir. Posisi tenggah dalam foto itu Ina. Semoga saja
tidak terjadi hal buruk seperti kata Kak Odhi.
Keesokan Harinya
“Eh, ini udah bel masuk tapi kemana
ya Ina kok gak masuk? Nggak bawa surat lagi?” tanya Dita spontan.
Tiba-tiba
aku teringat petuah Kak Odhi. Merasa gelisah, aku menceritakan semua obrolanku
dengan Kak Odhi semalam. Dita mendengar semua ocehannku tanpa membantah sedetik
pun, sepertinya dia pendengar yang antusias.
“Aku
sih gak percaya sama mitos begituan, ini kan udah tahun 2014, zaman modern
tau,” kataku masih tetap tidak percaya ucapan Kak Odhi semalam.
“Tapi
siapa tau aja benar Ra,” sahut Dita mulai membuka suara.
“Jangan
jadi provokasi deh Dit,” kataku emosi.
Obrolan
kami terputus karena kedatangan Bu Anita memasuki ruang kelas dengan raut muka
khawatir, tidak seperti biasanya yang selalu kalem dan murah senyum.
“Ada
apa Bu?” tanya salah satu temaku. Ternyata dia juga merasakan perubahan raut
muka Bu Anita.
“Maaf
ya anal-anak... hari ini saya tidak bisa mengajar, sekolah baru saja mendapat
berita bahwa hari ini ada salah satu murid yang mengalami kecelakaan saat
berangkat sekolah. Pihak sekolah belum bisa memastikan siapa, karena itu Ibu
akan memeriksannya dulu bersama Pak Dunny.”
Aku
dan Ditta saling berpandangan. Jangan – jangan...
Kami
berdua serempak pergi ke rumah Ina. Tak peduli lagi dengan teriakan-teriakan Bu
Anita karena meninggalkan sruang kelas tanpa pamit. Kalau harus dihukum, aku
dan Dita akan melaksanakannya nanti. Yang terpenting saat ini adalah mengecek
kondisi keselamatan Ina.
***
Suara
ketukan pintu menyerupai dobrakkan membuat Ina mengumpat kesal. Sekarang ia
cemas kalau mereka perampok atau penculik. Orang tuanya kini sedang berada di
luar kota pula jadi Ina sekarang sendirian. Tapi dipikir-pikir aneh juga kenapa
perampok pake mengetuk pintu segala?
“Ina
bukain pintu, ini aku dan Vira,” teriak Dita dari luar.
Ina
mendesah pelan,setidaknya mereka bukan perampok tapi perusak pintu. Perlahan Ina
memegang handle pintu dan-
Cklek
Aku
dan Dita memelukknya erat sambil menangis tersedu-sedu.
“Kalian
kenapa nangis gitu,” tanya Ina mengerutkan dahi, heran juga kenapa sahabatnya
yang jahil ini tiba-tiba menangisinya. Drama Queen banget!
“Kamu
baik-baik aja kan? Ga luka kan? Aku kira kamu meninggal,” ujar Dita
sesenggukan.
“KURANG
AJAR KALIAN! JADI KALIAN BERDUA KIRA AKU MENINGGAL? AKU SEKARANG SEHAT
WAL’AFIAT. KALAU JAHIL JANGAN KETERLALUAN DONG.”
Aku mencoba memberi penjelasan kepada Ina mengenai
obrolanku dan petuah Kak Odhi mengenai foto selfie kami bertiga dan posisi Ina
yang berada di tengah membuatku takut kalau terjadi petaka dan sialnya Ina
menempati posisi tengah. Untung saja bukan aku.
Beberapa
detik kemudian ekspresi Ina berubah drastis, ia tertawa terpingkal-pingkal
hingga mengeluarkan bulir air mata. Aku dan Dita jadi bingung, apa Ina mulai
gila ya?
“Hei
Vira sejak kapan kamu jadi lugu begini! Kamu gak kapok ya sering dibohongi Kak Odhi,” ucapnya masih tertawa
namun dengan frekuensi lebih rendah.
“Kami
juga panik Ina, kau tahu di sekolah ada murid kecelakaan ketika mau berangkat
sekolah, sekolah belum meastikan siapa siswa kecelakaan itu. Belum lagi
ditambah cerita dari Kak Odi yang pas banget sama sikonnya. Kita kan jadi ngeri
sendiri,” sahut Dita berapi-api. Wah kayanya dita marah diketawain sama Ina kan
biasanya kami yang ngetawain Ina.
“Astaga!
Maafin aku, bukan maksudku buat sahabatku khawatir. Tapi seragam sekolahku gak
tau hilang kemana, mungkin aja masiuh dibawa Mama ke laundry jadi ya aku ga
sekolah mana orang tuaku ga ada lagi.
Dan
buat Kaka Odhi, kayanya ia haruss dikasih pelajaran biar kapok! Sudah kalian
jangan percaya lagi sama omongan Kak Odhi.”
“Maafin
kelakuan konyol Kak Odhi ya? Nanti kita kerjain aja takut-takutin cicak biar
histeris. Oh ya berhubung Ina baik-baik aja, Dita ayo kita kembali lagi ke
sekolah dan menjalani hukuman dari Bu Anita karena sudah meninggalkan
pelajarannya,” seruku mengajakknya pergi.
“Ah
dihukum ya? Kan ga adil Ina bolos kita nggak,” jawabnya polos.
Sontak kami semua
tertawa meratapi kekonyolan kami hanya gara-gara foto.
END
No comments:
Post a Comment