Karya
: Fanda Elvira Rosa
Kabut
asap pagi ini lebih pekat dari sebelumnya, membuat matahari enggan menampilkan
cahahanya di langit negeri berkepala Singa ini. Jalanan terlihat sepi.
Gedung-gedung pencakar langit beberapa diantaranya tutup. Para penduduk
berwajah Tionghoa juga sudah memakai masker. Aku yakin, mereka tidak terbiasa
dengan bau pekat asap yang ada.
“Indonesia
selalu saja membuat ulah. Setiap tahun Singapura selalu saja mendapat getah
asap dari kebakaran hutan dari Indonesia. Beberapa penerbangan terpaksa harus
ditunda hingga tiga jam lagi. Menyusahkan saja!” cibir salah seorang pria
tambun berkulit putih pucat, aku tidak bisa melihat wajahnya jelas karena
tertutup masker.
“Jangan
keras-keras, wanita di ujung sana warga Indonesia. Bisa-bisa rumahmu dibakar
karena ketahuan meledeknya,” bisik si wanita, merangkul mesra si pria tambun.
Pasti kekasihnya.
Jarak
kami terpaut satu meter. Benar saja aku bisa mendengar jelas pembicaraan
mereka. Telingaku rasanya mengeluarkan asap meski tak kasat mata.
Meskipun
tanganku terasa gatal untuk meninju mereka, namun kuurungkan niatku mengingat
lebih baik menunggu kedatangan Antoni daripada melakukan hal bodoh di depan
umum.
“Menunggu
lama sayang?” sebuah suara yang sudah satu minggu kurindukan. Dia mencium
keningku mesra seolah-olah Parkiran Bandara milik kami berdua.
“Tidak,
baru beberapa menit saja. Syukurlah kepulanganmu dari Brunei tidak sampai ditunda
tiga jam lagi.”
***
Ini
pertama kalinya aku menjajakkan kaki di rumah keluarga Antoni, katanya dia
ingin mengenalkanku sebgai pacarnya pada orang tuanya. Aku rasa hubunganku akan
maju selangkah setelah ini.
“Jadi
apa pekerjaan orang tuamu, Nak?” tanya Mama Antoni disela-sela kegiatannya
sedang merajut.
“Kontraktor
di daerah Riau, Tante.”
Mama
Antoni mengangguk. Antoni sendiri hilang entah kemana setelah mengantarku ke
ruang tamu, introgasi pertama calon mantu saat ini membuatku gugup!
“Siapa
nama orang tuamu?” Papa Antoni mulai angkat bicara setelah sibuk menghisap
cerutunya.
“Bintoro
Siregar dan Fardain Siregar, Om.”
Papa
Antoni mengerutkan kening, seolah berfikir lama mengingat sesuatu. Apa mereka
mengenal orang tuaku? Kemudian matanya mendadak berkilat marah dan
meninggalkanku.
DOOR!!
Rasa
sesak menyelimuti dadaku, kali ini bukan karena pekatnya asap. Melainkan sebuah
peluru tepat di bagian jantungku. Kuraba perlahan, darah segar sudah mengalir
menembus kausku. Aku terpenrangah karena Papa Antoni telah menembakku.
“Rasakan
kau Bintoro! Dengan begini kau akan tahu bagaimana rasanya kehilangan anak yang
kau sayangi. Sekarang kita impas setelah membuat bayi kecilku meninggal akibat
asap dan asetku habis kau bakar delapan belas tahun silam,” kata Papa Antoni
tersenyum mengejek. Sementara Antoni dan Mamanya hanya diam membisu.
Dan
kali ini aku salah membenci ulah negaraku hingga harus pindah kuliah di
Singapura. Karena sejatinya, bukan negaraku yang salah. Melainkan para oknum
jahat yang membuat negara tertangga mencibir. Salah satunya Ayahku sendiri,
Bintoro.
SELESAI
No comments:
Post a Comment